Loading...
HikmahRefleksi

Puasa, Mosaik Spiritualitas Luhur

Meski Covid-19 belum berakhir semoga permulaan puasa esok hari negeri ini terlaksana khusyuk dan tidak berhenti di titik nol ritual ibadah semata. Puasa menjadi energi rohaniah yang autentik untuk umat dan bangsa.

Puasa Ramadhan hadir kembali tahun ini ketika dunia masih bersama pandemi dan Indonesia menghadapi masalah negeri.

Meski Covid-19 belum berakhir, kehendak umat untuk syiar Ramadhan tetap tinggi, sebagaimana fenomena umum gelora kesemarakan beragama pada dekade terakhir di penjuru bumi. Semoga permulaan puasa esok hari negeri ini terlaksana khusyuk dan tidak berhenti di titik nol ritual ibadah semata. Setiap insan Muslim ingin puasanya berbuah makna dan tidak hampa seperti peringatan hadis Nabi, ”Berapa banyak orang yang berpuasa, tiada hasil dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga” (HR Ibnu Majah).

Puasa niscaya ditransformasikan sebagai energi rohaniah yang otentik untuk pencerahan spiritual umat dan bangsa. Apalagi di tengah kehidupan bersama yang sering kali terjadi paradoks, baik dalam praktik kehidupan beragama maupun di ranah publik, yang perlu kehadiran spiritualitas luhur keagamaan.

Pengendalian diri

Puasa (al-shaum) makna dasarnya ’berhenti dari’ atau al-imsak, yaitu ’menahan diri’. Verbal syariah menahan diri dari makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan biologis dari terbit fajar hingga terbenam matahari.

Makna hakikinya ’menahan diri dari hawa nafsu atas dunia’, yang sering menjerumuskan manusia pada cinta dunia melampaui batas, sehingga hidupnya jadi pemuja kesenangan (hedonis), pengejar kegunaan (pragmatis), dan pemburu kesempatan (oportunistis) dengan mengabaikan nilai-nilai utama kebenaran, kebaikan, dan etika.

Dunia diperbolehkan untuk diraih dan dinikmati secukupnya, selebihnya dimanfaatkan untuk kemaslahatan hidup bersama.

Energi rohaniah ibadah puasa terletak pada daya pengendalian diri (self-control) setiap insan Muslim yang berpuasa dari segala pesona duniawi agar tak menjadi pemburu kuasa dunia yang melampaui takaran. Dunia diperbolehkan untuk diraih dan dinikmati secukupnya, selebihnya dimanfaatkan untuk kemaslahatan hidup bersama.

Urusan dunia, seperti meraih harta dan takhta, pun harus diikhtiarkan dengan cara baik dan diperuntukkan bagi kebaikan sehingga segala raihan duniawi itu menjadi bekal sekaligus jalan keutamaan menuju kebahagiaan hidup sejati di akhirat kelak (QS Al-Qashas: 77).

Syed Ameer Ali memberi pemaknaan yang mendalam tentang kekhususan puasa dalam Islam. Ajaran puasa berbeda dengan tradisi pra-Islam, yakni sebagai ajaran ”pengekangan nafsu” dan bukan ”penebusan dosa”. Puasa dalam Islam, tulis Ameer, ”merupakan laku ibadah yang sah untuk mengendalikan hawa nafsu”. Latar historisnya, bangsa jahiliah sebelum Islam dikenal rakus, mengumbar nafsu, dan kejahatan yang melampaui batas. Karena itu, perlu didekonstruksi bukan dengan anti-pemenuhan kebutuhan duniawi, yang diperlukan pembatasan atau pengendalian.

BACA JUGA:   Niat

Puasa merupakan representasi dari jalan rohani membangun benteng kokoh di dalam diri setiap Muslim dari keliaran nafsu duniawi yang sarat pesona. Hasrat makan, minum, dan hasrat biologis merupakan gambaran simbolis dari segala nafsu dunia, menurut sufi ternama Jalaluddin Rumi bagaikan ”ibu dari semua berhala”.

Segala petaka hidup bermula dari hawa nafsu primitif yang tak terkendali, yang mendorong manusia ingin menguasai dunia melampaui batasan. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan, menguras alam, perang, dan berbagai kejahatan di muka bumi bermula dari hasrat berlebih akan kejayaan duniawi itu.

Hawa nafsu dunia, seperti penguasaan harta, takhta, dan kuasa inderawi lainnya, jika tanpa rem spiritual tidak akan pernah berhenti. Laksana pesona gunung emas dalam ilustrasi hadis Nabi. Jika manusia meminta gunung emas pertama, setelah memperolehnya akan meminta yang kedua, setelah itu meminta gunung emas ketiga.

Selalu banyak ruang, alasan, pembenaran, sekaligus faktor pendukung bagi manusia untuk memenuhi hasrat duniawinya yang tak berkesudahan. Tuhan pun memberi label ”at-takatsur” bagi mereka yang rakus dunia itu, yang tiada akan berhenti kecuali ajal kematian memisahkannya.

Karena itu, tulis Syed Ameer, ”Puasa amat cocok sebagai cara untuk mengendalikan dorongan nafsu hewani manusia, terutama di kalangan suku-suku bangsa yang masih setengah beradab”.

Makna lainnya, tanda bangsa beradab ialah hidup bermartabat dan tidak rakus dalam memenuhi kebutuhan duniawi, serta memanfaatkan kecukupan kuasa dunia itu untuk hidup bermakna dan berfaedah menggapai derajat keutamaan.

Meminjam teori Abraham Maslow, tingkat hidup manusia bergerak dari pemenuhan kebutuhan primer yang elementer menuju aktualisasi diri yang substantif sehingga proses pencapaian hidupnya bergerak dari struktur bawah yang serba inderawi ke tangga teratas yang bersifat rohani sarat arti hakiki.

Titik tuju puasa agar setiap insan Muslim meraih puncak kualitas diri terbaik, yakni menjadi al-muttaqun, orang-orang bertakwa

(QS Al-Baqarah: 183)

Titik tuju puasa agar setiap insan Muslim meraih puncak kualitas diri terbaik yakni menjadi al-muttaqun, orang-orang bertakwa (QS Al-Baqarah: 183). Di antara ciri bertakwa ialah memberi di saat lapang dan sulit, menahan marah, memberi maaf, serta tidak melakukan perbuatan buruk dan keji (QS Ali Imran: 134-135).

Mereka yang lulus puasa ialah yang sukses menaklukkan jiwa primitifnya menuju kualitas diri yang secara rohaniah paripurna. Itulah puasa sebagai jalan terjal menuju pencapaian puncak rohaniah tertinggi yang tercerahkan, yakni spiritualitas luhur perpaduan harmonis antara nilai-nilai Ilahiah dan insaniah yang terpancar dalam segala kebajikan hidup di muka bumi.

BACA JUGA:   Turunnya Wahyu kepada Nabi Muhammad

Puasa sebagai jalan rohani pengendalian hawa nafsu manakala dilakukan pada tingkat khusus (khawas al-khusus) melahirkan sikap futhuwah, kesatriaan diri. Ketika orang berpuasa diajak berseteru atau hal-hal buruk, dia akan menjawab ”inni shaimun”, aku sedang berpuasa.

Legasi dan cita-cita hidupnya naik kelas signifikan dari kegemaran meraih kesuksesan fisik-ragawi ke spiritualitas tertinggi (irfa’), yang mencerahkan semesta kehidupan bersama. Meminjam diksi Yuval Harari, manusia berspiritualitas tinggi orientasi hidupnya bergerak dari homo sapiens ke homo deus untuk menjadi makhluk tingkat dewa!

Spiritualitas berbangsa

Hidup di negeri ini, baik dalam beragama maupun berbangsa, menuntut spiritualitas luhur. Pandemi, relasi dunia yang rawan perang atau agresi, beragam tindakan radikal-ekstrem yang melahirkan kekerasan berkedok sakral dan heroisme, politik demokrasi liar dan oligarkis, para kapitalis tamak mengeruk alam tak berkesudahan, dan kerusakan semesta akibat ulah manusia secara masif yang di antaranya menimbulkan bencana perubahan iklim dan segala prahara dunia; meniscayakan peran rohani manusia yang tercerahkan.

Seperti tawaran Steven Pinker dalam Enlightment Now, manusia di era ini mesti mengembangkan a humanistic sensibility untuk menumbuhkan sentimen empati, seperti kemurahan hati, belas kasih, dan rasa saling memahami satu sama lain. Sifat-sifat empati ini menghidupkan watak alami manusia sebagai makhluk yang ”merasa” (sentient), yang saat ini boleh jadi tergerus pola pikir rasional-instrumental ataupun pandangan keagamaan yang dangkal.

Agama dan spiritualitas luhur selalu menjadi tempat rujukan untuk mencari kanopi suci bagi kehidupan yang galau dan tidak pasti.

Lebih-lebih di kala dunia mengalami absurditas dan kegalauan seperti dideskripsikan Albert Camus, sungguh diperlukan kehadiran insan yang rohani-spiritualitasnya bertingkat utama, bukan sosok pemburu kuasa duniawi yang larut dalam baju besi kemegahan dan keangkuhan diri.

Agama dan spiritualitas luhur selalu menjadi tempat rujukan untuk mencari kanopi suci bagi kehidupan yang galau dan tidak pasti. Suatu fenomena yang disebut Michael Adas, religious revitalization, atau kebangkitan agama di saat terjadi kekacauan hidup, meski kebangkitan agama tak jarang bergerak ke arah lain dari keberagamaan yang ekstrem hingga paham ratu adil (millenarian vision) berwajah pelarian.

Dunia kacau-balau sering terjadi karena manusia kehilangan jangkar spiritual yang luhur. Visi moralnya tak lebih luas dari halaman rumahnya yang sempit, yang terkungkung dalam tradisi kecil yang miopik. Akal sehat diporakporandakan sehingga orang awam dibikin bingung dan kehilangan kepercayaan akan makna kebenaran, kebaikan, dan kepatutan hidup.

Salah dijadikan benar, buruk diputar balik menjadi baik, aturan dipermainkan, serta langit kehidupan dibikin serba abu-abu yang bermuara pada kekacauan nilai sebagaimana satire firman Allah tentang manusia ”berperangai hewaniah” yang potensi inderawinya mati rasa karena kehilangan suara kalbu” (QS Al-’Araf: 179).

BACA JUGA:   Hikmah Isra' Mi'raj

Perangai salah kaprah yang parah itu sering dibingkai oleh alam pikiran dan provokasi nalar ”antroposen” yang bias humanisme sekular, dari permukaan tampak benar, tetapi sejatinya secara nilai berantakan dan akhirnya berbuah prahara. Kehidupan bersama yang semestinya berbingkai keadaban luhur, menurut Peter L Berger, jatuh menjadi chaos, yang berwajah liar. Manusia terjerembab pada paradigma post truth, ketika segala kesalahan dibikin berulang-tetap dan akhirnya jadi benar.

Kehidupan chaos seperti itu dalam rujukan ramalan Jayabaya membawa kehidupan masyarakat pada zaman ”kalabendu”. Kehidupan manusia di permukaan tampak menikmati kesenangan dan kenikmatan duniawi, tetapi senyatanya rusak dan hancur.

Kehidupan jungkir balik laksana zaman edan, orang yang benar kebingungan dan yang salah bersenang-senang, orang baik terlunta-lunta, sementara orang bermasalah naik pangkat. Banyak paradoks kesalahkaprahan berubah menjadi lumrah, arah kehidupan pun bergerak zigzag ibarat kapal besar diempas gelombang besar dan kehilangan kompas menuju pantai idaman.

Di tengah zaman “absurditas” dan “kalabendu” yang kacau nilai itu, maka penting dihadirkan spiritualitas luhur keagamaan.

Di tengah zaman “absurditas” dan “kalabendu” yang kacau nilai itu, maka penting dihadirkan spiritualitas luhur keagamaan. Para pemeluk dan tokoh agama hadir dengan keberagamaan yang hanif, sehingga memancarkan pencerahan akal budi di dalam dirinya maupun dengan sesama dan lingkungannya. Para tokoh dan ulamanya menjadi suri teladan, bukan pengirim kegaduhan dan keresahan. Hidup damai, adil, tengahan, toleran, dan rendah hati menjadi budaya dan perilaku luhur keseharian umat beragama. Sebaliknya terjauh diri dari segala perangai buruk, esktrem, tidak adil, intoleran, semuci, dan ananiyah hizbiyah atau egoisme kelompok yang melahirkan wajah kusam dan anomali kehidupan beragama.

Spiritualitas luhur buah puasa akan melahirkan jiwa futuwah (kesatriaan) dan irfa’ (keluhuran budi) dalam kehidupan kebangsaan, yang melahirkan mozaik kenegarwanan para elite dan warga bangsa. Para elite memilih hidup mengabdi untuk negeri dan dunia kemanusiaan dengan sepenuh hati, ketimbang terkerangkeng dalam sangkar-besi tahta dan pesona dunia yang tak berkesudahan, karena mereka bermartabat mulia dan telah selesai dengan urusan dirinya. Warga bangsa pun semakin cerdas dan bermartabat luhur, serta bertumbuh menjadi kekuatan kolektif yang inspiratif bagi kemajuan negeri. Kita percaya masih banyak elite dan warga bangsa di negeri tercinta meski denyut nadi keruhaniannya berdetak lirih, mereka menyimpan mozaik spiritualitas luhur untuk memilih jalan hidup lurus demi Indonesia maju berkeadaban utama!

Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah


Artikel ini diadaptasi dari Kompas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *