Loading...
HikmahRefleksi

Hikmah Ramadlan – 2

وَٱتَّقُوا۟ فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ مِنكُمْ خَآصَّةً ۖ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya,”

(al-Quran, surah al-Anfal [8]: 25)

Ibadah puasa dimaksudkan sebagai sarana pelatihan ruhaniah untuk mencapai derajat ketakwaan. Sedangkan esensi ajaran puasa adalah latihan mengendalikan diri atas berbuat zhâlim. Namun, karena kata zhâlim sudah menjadi bahasa atau istilah keseharian dalam bahasa Indonesia (zalim), terkadang makna yang sesungguhnya justru sering dikaburkan, dilupakan, atau bahkan tidak jarang disalahpahami seperti berkembangnya asumsi atau dugaan bahwa berbuat zalim itu dampak atau efeknya tertuju kepada orang lain. Padahal, pengertian zalim juga pada hakikatnya menunjuk pada seluruh perbuatan dosa, yang sebenarnya, dampak atau efeknya justru akan kembali pada dirinya sendiri.

Kata “zhâlim” dalam bahasa Arab secara kebahasaan diturunkan dari akar kata zhalama, kemudian menjadi zhulm (gelap). Adapun kata zhâlim adalah bentuk kata pelaku dari kata zhalama (orang yang melakukan kezaliman). Dari pengertian generik zhâlim yang berarti gelap, kata zhulm menjadi lawan dari nûr atau cahaya yang juga berarti terang.

Pengertian yang demikian itu, sesungguhnya, erat kaitannya dengan sumber kezaliman itu sendiri, yakni hati yang tidak lagi memiliki nurani atau hati yang gelap. Dikatakan hati yang gelap, karena hati tersebut sudah tidak lagi mampu membedakan antara baik dan buruk atau benar dan salah.

Sejalan dengan pemahaman semacam itu, dalam sebuah kasus diceritakan bahwa salah seorang sahabat telah datang menghadap kepada Rasulullah saw untuk mendapatkan nasehat. Dia berharap Rasulullah akan menasehati panjang lebar. Akan tetapi, alangkah terkejutnya sahabat tadi, ketika ternyata Rasulullah hanya menasehati dia dengan sebuah ucapan yang sangat simpel, singkat saja. Rasulullah hanya menasehatkan, “Istaftî qalbak”. Yang artinya mintalah nasehat atau petunjuk dari hati nuranimu.

Dari kasus tersebut kemudian dapat disimpulkan bahwa hati nurani, sesungguhnya, merupakan sumber petunjuk kebenaran bagi setiap manusia — yang oleh para filosof Muslim, seperti Ibn Miskawaih disebut al-hikmah al-khâlidah. Dan manusia yang, dengan sendirinya, berbekal bimbingan hati nurani akan dapat terkendalikan dan terjaga dari segala perbuatan zalim.

Kecenderungan hati nurani adalah mencari kebenaran. Kemudian dorongan halus kepada kebenaran tersebut lebih populer dengan istilah dorongan asal atau kerinduan eksistensial, yakni kerinduan untuk selalu menyembah Zat yang menurutnya lebih tinggi.

Namun begitu, perlu kembali diingat bahwa pada sisi lain manusia juga diciptakan dalam kondisi lemah, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah,” (al-Quran, surah al-Nisa’ [4]: 28). Yaitu dengan diberi hawa nafsu. Dengan diberi hawa nafsu tersebut, maka sifat manusia pun akhirnya mudah tergelincir atau tergoda kepada dosa karena ketidakmampuannya mengendalikan dorongan hawa nafsu tadi. Atau dengan kata lain, hawa nafsu merupakan sumber kejatuhan manusia secara moral dan spiritual itu sendiri. Namun, kembali pada problem bahwa manusia selalu memiliki kerinduan eksistensial, yang dalam istilah al-Qur’an disebut hanîf, dikatakan, “Dan (aku telah diperintah), ‘Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik,” (al-Quran, surah Yunus [10]: 105), maka setiap saat pun kemudian datang dalam diri manusia sebuah kerinduan ingin kembali kepada kebenaran.

BACA JUGA:   Surah Al-Nisa' (4): 2

Apabila implikasi ayat tersebut direnungkan, dapat dipahami bahwa kalau saja tidak karena mendapatkan petunjuk, bimbingan, dan ajaran agama yang benar, manusia dengan sendirinya akan mudah terseret ke penyembahan apa saja yang akan menjatuhkan derajat kemanusiaannya. Dan yang demikian itu sungguh sangat berbahaya. Padahal, sebagaimana kita ketahui, sesungguhnya manusia merupakan ciptaan atau karya Tuhan yang terbaik, masterpiece, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya, Kami (Allah) telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,” (al-Quran, surah al-Tin [95]: 4).

Di sini, kemudian manusia harus menyadari betul bahwa menurut grand design Allah swt, manusia berada di puncak bangun kerucut ciptaan Allah swt, sedangkan ciptaan lain berada di bagian bawah. Dengan sendirinya, manusia harus mampu memandang ciptaan lain sebagai hal yang nisbi, relatif, dan rendah. Dan hanya Allah swt-lah yang layak dan patut disembah. Itulah yang disebut pengertian tauhid yang membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah swt.

Dalam bulan puasa, dengan berbagai latihan ruhaniahnya, orang beriman diharapkan akan dapat melepaskan diri dari belenggu penyembahan kepada hal-hal selain Allah swt serta mampu menemukan kembali harkat kemanusiaannya sebagai makhluk atau ciptaan Allah swt yang terbaik.

Adapun problem belenggu kemanusiaan yang dapat memalingkan manusia dari Allah swt, terkadang dapat berbentuk nafsu tak terkendalikan kepada cinta materi, seperti rumah mewah, mobil mewah, tanah, istri, dan anak. Yang kalau saja seseorang melakukan penyembahan kepada hal-hal yang bersifat materi tersebut, dengan sendirinya, sebenarnya, ia sudah terjerumus ke perilaku syirik, seperti yang dikatakan dalam ungkapan keseharian orang Inggris, “He washes his car ritually”. Ini mengindikasikan betapa manusia, karena belenggu kecintaan kepada hal-hal yang bersifat material tersebut, tanpa disadari menjadikan materi sebagai sesembahannya, seperti harus mencuci mobil sebagai layaknya ritual saja.

Namun juga jangan disalahpahami bahwa tidaklah benar bahwa bila kita harus hidup sesuai dengan ajaran Islam, maka kita harus pula menghindari atau menjauhkan diri dari hal-hal yang berbau keduniaan atau materi. Dunia dan materi dalam Islam dipandang sebagai hal-hal yang positif, seperti disebutkan dalam al-Qur’an, “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak?,” (al-Quran, surah Ibrahim [14]: 19).

Bahwa bumi dan langit beserta isinya semua diciptakan untuk kepentingan manusia dalam beribadat menyembah Allah swt. Islam melihat alam semesta ini dengan konsep positive values, dipenuhi dengan nilai-nilai positif bagi kehidupan dan kelestarian manusia itu sendiri.

Perlu ditegaskan di sini bahwa sekali-kali Islam bukan agama rahbâniyah, yang mengharamkan hal-hal bersifat duniawi atau materi, atau mengajarkan kepada pengikutnya untuk meninggalkan hal-hal yang berbau duniawi, zuhud atau asketik.

Dalam sebuah hadis diceritakan bahwa ada seorang sahabat Nabi yang bernama Utsman ibn Mas’ud, mantan orang kaya Makkah, yang setelah masuk Islam dia kemudian membangun sebuah rumah di sebuah tempat terpencil dan menjauhkan diri dari hal-hal berbau duniawi. Kemudian dia memutuskan untuk menghabiskan seluruh waktunya, semata-mata untuk beribadat — dalam arti sempit — kepada Allah swt. Dan karena keputusan dan sikapnya itu, istrinya kemudian melaporkan perihal suaminya kepada Rasulullah saw.

BACA JUGA:   Turunnya Wahyu kepada Nabi Muhammad

Karena pengaduan tersebut, kemudian Rasulullah pun datang ke rumah Utsman dan bertanya kepadanya dengan nada marah. Akhirnya, Rasulullah berkata bahwa Rasulullah juga beribadat, tetapi dia juga bekerja, menikah, mencintai istri dan anak-anaknya. Dari kasus tersebut kemudian Rasulullah bersabda bahwa barang siapa dari orang Islam yang tidak senang kepada kebiasaan (sunnah) Rasulullah — mengabaikan kehidupan duniawi, dan tidak menikah umpamanya — maka sesungguhnya ia bukan termasuk golongan umat Rasulullah.

Akan tetapi, pada sisi lain, dalam Islam diingatkan pula — sebagai imbangannya — bahwa materi juga dipandang sebagai godaan yang dapat menyesatkan manusia dari jalan yang benar, dan terkadang bahkan manusia dapat menzalimi dirinya sendiri karena masalah materi. Adapun dimensi atau sisi positifnya adalah bahwa materi berfungsi dalam rangka meningkatkan hakikat kemanusiaan itu sendiri, tentunya apabila ia mampu mengatasi godaan-godaan tersebut.

Perbuatan zalim intinya adalah segala perbuatan dosa. Dan pengertian perbuatan dosa merujuk ke seluruh perbuatan yang dalam jangka pendek menimbulkan kesenangan, namun dalam jangka panjang menimbulkan kesengsaraan.

Bahwa perbuatan zalim itu kembali kepada dirinya, diilustrasikan dalam al-Qur’an sebagai berikut: 

Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri,” (al-Quran, surah Ali Imran [3]: 117). 

Kalau saja mau disadari, hakikat perbuatan zalim pada tingkat dan derajat tertentu akan kembali kepada dirinya sendiri. Sesungguhnya, yang mendorong orang berbuat zalim adalah dirinya sendiri karena tidak menuruti hati nuraninya. Ia malah sebaliknya, mengikuti dorongan hatinya yang sudah gelap sehingga petunjuk agama tidak dapat masuk ke dalamnya, seperti ditegaskan dalam firman Allah swt:

Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar Rasul, dan keterangan-keterangan pun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim,” (al-Quran, surah Ali Imran [3]: 86). 

Dalam pengertian yang lain, hidayah itu datang melalui sebuah proses, yakni adanya proses reciprocal atau perbuatan timbal-balik antara kesiapan ruhaniah seorang hamba dengan kehendak Allah swt. Maksudnya, dengan menzalimi diri, ia juga sudah menggelapkan hatinya. Ibarat orang yang sudah menutup hatinya sehingga petunjuk Allah swt pun akhirnya tidak dapat lagi masuk.

Perbuatan zalim juga ada yang berada dalam kategori paling rendah, seperti seseorang melakukan perbuatan berburuk sangka kepada orang lain. Berburuk sangka, yang dalam bahasa al-Qur’an diistilahkan dengan zhann, menduga-duga, adalah perbuatan yang dapat menjerumuskan ke perbuatan dosa.

Dalam al-Qur’an dinasehatkan agar orang beriman dapat mengendalikan diri untuk tidak mudah terseret pada perbuatan buruk sangka karena sebagian buruk sangka itu sudah termasuk perbuatan dosa, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an: 

BACA JUGA:   Surah Al-Nisa' (4): 1

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain…,” (al-Quran, surah al-Hujurat [49]: 12). 

Namun, sebaliknya, menurut ajaran al-Qur’an orang beriman justru dianjurkan untuk berbaik sangka kepada orang lain. Ber prasangka baik, yakni berprasangka bahwa orang lain memiliki maksud baik kepada kita. Prasangka yang demikian itulah yang dalam bahasa modern kemudian dikenal dengan nama hikmah keraguan atau benefit of doubt.

Adapun zalim yang paling besar adalah apabila seseorang melakukan perbuatan syirik atau menyembah selain Allah swt. Perbuatan syirik juga telah, dengan sendirinya, menjatuhkan derajat manusia ke derajat paling rendah, yakni melakukan penghambaan atau tunduk kepada selain Allah swt — yang bertentangan dengan ajaran tauhid tadi.

Dosa syirik dinyatakan sebagai dosa yang tidak diampuni oleh Allah swt, sebagaimana difirmankan-Nya: 

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dia kehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sesungguhnya ia telah berbuat dosa yang besar,” (al-Quran, surah al-Nisa’ [4]: 48). 

Manusia terjerumus ke dalam dosa di antaranya karena manusia menyukai hal-hal yang cepat atau dalam istilah sekarang yang serba-instan, seperti dalam al-Qur’an disebutkan, “Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa,” (al-Quran, surah al-Anbiya’ [21]: 37). Manusia suka potong kompas. Manusia suka hal-hal atau tujuan jangka pendek, kurang mampu melihat jangka panjang, atau mengetahui akibat dari perbuatannya.

Ibadah puasa secara intrinsik bertujuan mencapai derajat ke takwaan, yakni lahirnya kesadaran diri bahwa Tuhan selalu hadir bersama kita, mengawasi, dan melihat semua perbuatan kita. Dan inilah sebenarnya hakikat takwa, yakni merasa dekat dengan Tuhan, sebagaimana dalam al-Qur’an disebutkan, “(yaitu) orang-orang yang apabila tertimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘innâ li ’l-Lâh-i wa innâ ilayh-i râji‘ûn’,” (al-Quran, surah al-Baqarah [2]: 156). Ia menyadari bahwa pangkal segala sesuatu diciptakan dari Allah swt dan karenanya ia juga akan dikembalikan kepada Allah swt untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya.

Sejalan dengan maksud tersebut, pada bulan puasa kemudian orang beriman dianjurkan untuk memperbanyak zikir, qiyâm-u ’l-layl, dan ber-i‘tikâf. Yang dimaksud dengan i‘tikâf — “berhenti” dalam bahasa Arab — adalah agar orang berhenti dari kegiatan yang bersifat kekinian atau rutinitas, kemudian merenungi hakikat dirinya, yang dalam idiom bahasa Jawa sangat populer disebut sebagai “mengetahui sangkan paraning dumadi”. Atau melakukan perenungan eksistensial tentang asal-usul dirinya.

Amalan zikir juga disebutkan sebagai ibadat yang amat mulia, bahkan dikatakan paling tinggi pahalanya, karena dalam zikir juga terkandung perenungan, introspeksi, self examination, dan refleksi. Dengan memperbanyak amalan-amalan tersebut sepanjang bulan puasa, akan lahirlah kesadaran manusia akan kehadiran Zat Yang Mahatinggi, The Ultimate. Dan sesudah itu, akan dengan mudah bagi orang beriman melepaskan diri dari segala hal yang berpotensi menggelincirkan dan menjatuhkan dirinya ke dalam perbuatan dosa atau berbuat zalim.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *